Tuesday, March 26, 2013

Tenggang Rasa

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang cukup miris di perjalanan berangkat ke kantor. Seperti hari-hari biasanya, hari itu saya bangun di jam biasa saya bangun, di tempat tidur biasa saya tidur, melakukan rutinitas pagi seperti biasa, dan kemudian berangkat ke kantor melalui rute biasa. Namun hari itu saya mengalami kejadian yang mungkin "biasa" tetapi memberi pelajaran yang tidak biasa bagi saya.

Saat itu, saya sedang keluar dari sebuah jalan tikus menuju ke jalan raya. Karena jalan raya tersebut adalah jalan searah, maka saya harus berbelok ke kiri. Setelah saya berbelok, dari arah yang berlawanan terlihat seorang kakek-kakek mengendarai sepeda tua yang sudah karatan dan membawa satu galon penuh air mineral. Air mineral tersebut diikat menggunakan tali karet tebal pada jok penumpang sepeda kakek. Namun ternyata ikatannya kurang kuat, sehingga galon air terjatuh ke jalan raya.

Si kakek yang sudah tua (dan nampak cukup lemah) berusaha untuk mengangkat kembali galon air tersebut dengan sangat kesusahan. Sepertinya sepeda tua karatannya sudah tidak lagi memiliki standard sehingga beliau harus menyandarkan sepeda ke badannya agar sepeda tetap dapat berdiri, sementara kedua tangannya digunakan untuk mengangkat galon air yang terjatuh dan berusaha untuk menaikan kembali galon tersebut ke jok sepedanya. Sangat tidak beruntung, ternyata galon air tersebut bocor karena terjatuh tadi, sehingga pada saat kakek tersebut berusaha mengangkat galon air, air tumpah ke jalan dan sebagian membasahi celana si kakek.

Saat saya melihat kejadian tersebut, saya berusaha untuk menepi ke sebelah kanan jalan (mendekati si kakek). Saya berniat untuk turun dan membantu si kakek. Tetapi karena saat itu saya berada di sisi tengah cenderung ke kiri jalan, saya butuh usaha ekstra untuk berpindah menuju ke sisi kanan jalan tempat si kakek (mengingat kondisi lalu lintas yang cenderung ramai lancar). Namun, baru saja saya menyalakan lampu sen saya untuk memberi tanda kepada pengendara lain, bahwa saya akan menuju ke kanan (saat itu saya tidak mendadak belok, saya cukup hati-hati dalam berkendara), motor-motor dan mobil-mobil lain di belakang mengklakson saya bergantian. Bahkan beberapa pengendara motor menyampingi mobil saya dan berhenti sejenak untuk menarik gas-nya kencang-kencang sebagai tanda bahwa dia marah dan tidak mau memberi saya jalan. Akhirnya, saya tidak berhasil berpindah ke sisi kanan jalan, dan sudah cukup jauh di depan si kakek.

Saat berikutnya, saya melihat si kakek dari kaca spion, masih di tempat yang sama, masih berusaha untuk mengangkat galon air minum yang sekarang airnya sudah berkurang hampir setengahnya. Tidak ada satu orang pun yang datang menghampirinya untuk membantu. Malahan beberapa pengendara lain mengklakson si kakek kencang-kencang untuk melampiaskan amarah mereka kepada si kakek yang menghambat kelancaran perjalanan mereka.

Hati saya pilu sekali saat itu, bahkan saat ini ketika saya menulis, masih terasa ngilu di dada saya. Saya mempertanyakan dimanakah tenggang rasa. Dimanakah empati?
Saya mengerti setiap orang punya kepentingannya masing-masing, saya tidak menyalahkan mereka yang belum dapat peduli atau mungkin beberapa orang yang mungkin punya kesempatan untuk berhenti, mungkin mereka benar-benar sangat terburu-buru. Saya juga mengerti si kakek salah, berjalan melawan arah di tengah jalan, dan menimbulkan kemacetan kecil karena insiden kecilnya.
Tetapi bisakah setidaknya sedikit bertenggang rasa? Bisakah tidak perlu membunyikan klakson kendaraan sekencang-kencangnya di depan si kakek dan membuatnya semakin kelabakan? Bisakah tidak perlu mengegas kendaraan di samping si kakek sebagai ungkapan marah karena si kakek mengganggu kelancaran lalu lintas.
Bisakah kita lebih bertenggang rasa?

2 comments:

  1. hehe sedih ya liat orang2 kayak gitu. bukan berarti bilang gw atau kita paling bener, tapi minimal jangan kerdil gitu loh, kalo gamau bantu ya gausah klakson marah2...pfft

    ReplyDelete